Selasa, 17 Maret 2015

Serial Perjalanan (2) ~ Aceh

Serial sebelumnya :  Serial Perjalanan (1) ~ Pulau Alor - NTT

***


Sore itu seorang teman mengajakku jalan mencari makan sambil melihat-lihat situasi sekeliling hotel tempat kami menginap. Kulihat antrian sepeda motor di sebuah SPBU. Kami menemukan sebuah warung kecil. Temanku memesan mie instan rebus. Aku makan beberapa cemilan. Hari sudah memasuki waktu maghrib. Adzan berkumandang. Di tengah kami menikmati makanan, tiba-tiba lampu dimatikan dan pemilik warung menutup pintu. Kami terkejut, berdiri dan siap-siap untuk lari. Pemilik warung menenangkan kami dan mengatakan bahwa beginilah di Aceh. Jika terdengar adzan, semua warung atau toko harus tutup, atau bagaimana caranya agar tidak terlihat aktivitas duniawi.

Meski secara umum kondisi sudah aman, kami datang ke Aceh setelah kejadian penembakan di suatu daerah di wilayah Aceh. Berita di media ternyata mempengaruhi alam bawah sadarku. Ketika kejadian di warung itu, jantungku hampir copot, takut kalau-kalau kami akan diculik oleh kelompok itu. Dengan hati berdebar, kami menghabiskan makanan di kegelapan dengan terus waspada kiri kanan.

Setelah menunaikan kewajiban sesuai penugasan kami ke Aceh, kami berkeliling kota Aceh. Khususnya, melihat sisa-sisa bencana tsunami. Kami mengunjungi lokasi kapal dengan berat berton-ton yang hanyut dan terdampar hingga puluhan kilometer dari pantai. Melihat bangkai kapal itu, kita bisa memperkirakan bagaimana dahsyatnya arus dan kekuatan tsunami saat itu hingga bisa membawa kapal besar masuk ke tengah kota.

Kami juga ditunjukkan sebuah lapangan, dimana pagi saat kejadian tsunami, banyak sekali masyarakat yang melakukan aktivitas olah raga atau sekedar bersenda gurau dengan kerabat keluarga di akhir pekan.

Kami melintasi pinggiran pantai. Seorang teman bercerita, bahwa dulunya di daerah yang kami lewati adalah sebuah asrama tentara, yang kini hilang dilanda tsunami. Menatap lautan luas, bulu kudukku berdiri membayangkan bagaimana ketika kami disitu, tiba-tiba gelombang dan arus besar menerjang kami.

Tidak kami lewatkan adalah menikmati kuliner Aceh, diantaranya mie aceh dan beberapa sajian khas lainnya. Di sebuah kedai nasi, aku mendapati tulisan di pintu, yang membuatku tersenyum. Jika biasanya tertulis “dorong”, di pintu kedai itu tertulis “tolak”.

Dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke Jakarta, kami melintasi kuburan massal, dimana para korban tsunami dikebumikan. Doaku terpanjat, lahumul fatihah....

***